Budaya
mengolah sawah dari jamannya nenek jaman dulu dan sekarang dari hari ke hari sudah mulai dilupakan, atau
sudah hilang di daerah kehidupan pedesaan tanah jawa. Umumnya para petani pada ]zaman
sekarang ini beranggapan bahwa menanam padi adalah kegiatan yang produktif.
Padahal sejatinya usaha bertani adalah merupakan perwujudan bentuk kebudayaan
yang mempunyai banyak arti yang mencakup religi, etika dan pemujaan.
Kenyataan
sekarang ini pemahaman tentang itu sekarang sudah langka atau jarang.
Penyebabnya di karenakan oleh perekonomian modern yang digerakan oleh kekuatan
pasar yang mengarah para petani mengembangkan sikap praktis untuk mendapatkan
hasil panen yang lebih banyak. Kemajuan teknologi harus di manfaatkan tanpa
batas tertentu. Jika perlu tradisi kearifan-kearifan itu di sisihkan.
Munculnya
traktor yang menjadikan trend untuk mengolah tanah, menjadikan orang itu jarang
menggunakan tenaga kerbau. Padahal alat bajak tradisional yang sudah dibuat
dari sepasang kayu yang memang dibuat ada bagian yang melengkung seperti
kendheng gendhewa, dan bagian lainnya lurus itu merupakan pengertian atau
menampilkan hubungan yang harmonnis.
Tersingkirnya
luku dan garu, begitu juga hilanglah seni pedesaan. Meskipun semua itu menjadi
adat saat bekerja di sawah, terkadang pertani menyanyikan lagu dandang gulo,
asmaradana ataupun lagu lainnya. Meski suaranya keci, tetapi enak di dengar
diselingi bunyinya pecut dengan sorakan hir.. hir.. hir untuk mengendalikan
kerbaunya.
Sejak
awal para tani mempunyai keyakinan yang kuat bahwa padi tersebut merupakan
bahan poko yang berperan penting di kalangan pedesaan. Buktinya, padi sering di
gambarkan dengan simbol-simbol keramat. Para petani di jawa contohnya percaya
adanya Dewi Sri. Dewi padi di Bali dikenal dengan Bethari Sri. Di daerah sunda
di kenal dengan Ni Pohaci.
Karena
kepercayaan tersebut masyarakat desa sangat menghormati padi. Berbagai sesaji
dan slametan dilakukan mulai dari menebar benih sampai disawah, sesaji tersebut
untuk meminta supaya padi tumbuh subur tanpa dimakan hama.
Demikian
juga panen dilakukan dengan ani-ani. Dengan alat ppanen tradisional ini para
bruh tani bisa memilih padi yang benar-benar tua yang pantas untuk dipanen.
Tidak aneh bila beras rancak wangi enak rasanya dan tidak mudah bau bila
dimasak menjadi nasi.
Di
zaman dahulu ada pantangan bagi kaum laki-laki membuka tempat penyimpanan padi
dan membuka tutup dandang yang sedang di gunakan untuk memasak. Menurut
kepercayaan, larangan ini ada kaitannya dengan legenda Jaka Tarub –
Nawangwulan.
Cerita
rakyat menggemparkan, sesudah berumah tangga sekitar satu tahun Dewi
Nawangwulan dan satu putri Dewi Nawangsih. Jaka Tarub atau Ki Ageng Tarub heran
dengan penyimpanan padi yang tidak pernah habis. Padahal seharusnya padinya itu
habis karena tiap hari di masak oleh istrinya.
Karena
heran atau penasaran apa yang dimasak di dapur Ki Ageng Tarub lupa pesan
istrinya bahwa jangan sekali-kali membuka dan melihat tutup dandang ternyata
yang dimasak hanya padi sehelai tau setangkai.
Mengetahui
larangannya tersebut dilanggar oleh suaminya, Dewi Nawangwulan kehilangan
kesaktiannya. Setelah itu sang Dewi tidak beda dengan wanita lainnya. Setiap
hari menutup padi, membersihkan beras dan memasak seperti apa mestinya. Lama
kelamaan padi di tempat penyimpanan habis, dengan berkurangnya padi Nawangwulan
menemukan pakaian bidadarinya yang dulu sengaja di sembunyikan oleh Joko Tarub.
Merasa sudah waktunya Dewi Nawangwulan pergi kembali ke kayangan, berpisah
dengan suami dan anaknya.
Setelah
di telusuri lebih lanjut larangan bagi laki-laki tidak boleh membuka tutup
dandang yang sedang digunakan untuk memasak sebenarnya mempunyai maksud untuk
sabar. Sekarang mengandung unsur “Kesetaraan gender” bahwa urusan dapur menjadi
hak kaum wanita sedangkan laki-laki sebagai kepala keluarga wajib mancari
nafkah.
Sekarang
kebudayaan mengolah sawah secara tradisional sudah tidak jaman dengan
perkembangan tradisional sudah tidak jaman dengan perkembangan teknologi
modern. Hampir tidak ada lagi gotong royong mengolah padi dengan upah padi,
sekarang sudah diborongkan dengan upah uang.
Sekarang
slametan bumi sudah mulai jarang mulai ditemukan di antaranya dan mulai hilang
dari pedesaan yaitu “sesaji wiwit”. Makna pentingnya slametan ini tidak hanya
sekedar pelengkap yang di sajikan seperti nasi tumpeng, ayam panggang, sambel
gebel, trancam, telor dadar, rujak manis, pisang pulut, pisang mas, ubi jalar,
kupat lepet dan tebu satu ruas. Namun lebih dari itu untuk mengucap terimakasih
kepada Allah SWT yang sudah memberi keanugerahan berupa panen yang mellimpah.
Slametan
lainnya
Seharunya para saudara petani jangan
meninggalkan tentang menanam padi dengan cara konvensional (tradisi) yang sudah
nyata bisa sukses mengolah sawah dan pengeluarannya. Jika dibandingkan dengan
cara modern (mekanik seperti mesin dan pupuk) hasilnya bisa lebih banyak,
tetapi kita harus mengitung berapa modal yang harus di keluarkan untuk mengolah
sawah tadi. Kira-kira banyak mana jika cara mekanik dibandingan dengan modal
cara tradisional dan bersamaan dengan bab tentang kesuburan bumi serta alam
lingkungan apakah sudah pas atau cocok untuk petani indonesia (jawa), apalagi
campur tangan para birokrat (pengusaha) yang sering bercampur tangan.
Kemudian yang harus diperhatikan
juga pengetahuan tentang matinya keperluan pokok para buruh tani yang biasa bekerja sebagai buruh sawah hilang. Dan
pengahasilannya juga menghilangkan tradisi gotong royong yang jadi tumpuan
perekonomian bangsa kita. Sebab di waktu sekarang sudah hilang yang namanya
orang buruh tradisional juga para buruh cangkul yang pekerjaanya meratakan
sawah, yang mencangkul sisi tanah yang ada si pojok sawah yang sudah di bajak.
sebelum mengenal sawah model sekarang macam-macam jenisnya dan sulit dibajak
jika di jaman mengolah cara tradisi membajak pasti lainnya para petani yang
sedang menggunakan ketambahan yang namanya kerbau dan ayam atau bebek serta
burung jalakjuga bangauyang sedang mengrumuni orang yang sedang membajak sawah.
Hewan ini tadi sedang membantu
membersihkan hama yang ada di sawah seperti kumbang, ular, tikus dan
sejenisnya. Sebab pekerjaan membajak tadi termasuk membalik tanah dan meratan
juga menghilangkan semua hewan yang menjadi hama sawah, adanya burung dan ayam
atau bebek yang sedang mengikuti para pekerja untuk mencari makan apa yang ada
di sawah apa yang di kerjakan tadi. Jadi di jaman dulu hama yang mengganggu
sawah jarang sekali dan mudah memberantasnya, sebab sebelum merusak yang sudah
lebih dulu di makan burung dan ayam atau bebek. Jadi sistim padat karya yang
sering di anjurkan oleh pemerintah atau penguasa bisa berjalan lancar bukan
hanya slogan beda lagi dengan kebiasaan di bab tradisi yang mengenai upaca sesaji
yang jadi patokannya para sesepuh untuk memperingati budaya tradisi mensyukuri
untuk yang memberi Allah SWT yang sudah memberi anugrah yang banyak
kesejahteraan yang bisa memberi kehidupan.
Memang upacara tadi sedekah bumi
tapi yang jadi kenyataan semua tradisi yang sudah hidup atau tumbuh di dalam
masyarakat kita sendiri. Upacara tentang
mengolah sawah sebenarnya banyak sekali jenis yang mempunyai nilai yang
menjadikan jaman sekarang di namakan asuransi.
Di jaman sebelum padi PB masuk
indonesia (jawa) jenis padi hanya ada dua yaitu padi jawa (wulu) sebab pucuknya
mempunya bulu dan padi cempa (genyah) sebab umurnya lebih pendek dari padi jawa
(wulu).
Upacara dan
slametan mengolah sawah bisa terpenuhi
seperti :
1.
KELEMAN
Yaitu
slametan pembuka jika akan mengolah sawah seperti memulai memberi benih.
Menanam padi yang akan dipakai bibit tanaman padi ada di sawah jika padi jawa
di rendam di dlam kolam atau bak selama tiga hari (tidak di bersihkan). Jika
padi cempa disiram dengan memakai air hangat sampai bersih agar mudah tumbuh,
sesudah hari yang sudah di rancang yaitu hari menabur benih padi menadakan
slametan yang di namakan keleman. Jika slametan itu di buat dari nasi jenisnya
seperti sayur-sayuran, lauknya dari ikan air tawar. Sampai bumbu rujak dan
syaratnya harus ditusuk serta di bakar tidak boleh memakai danging ayam, sapi
dan kambing , seharusnya tidak boleh ada barang sembelihan, jadi pelengkapnya
tidak boleh lupa grontol, sawut, horog-horog, dan tiwul. Buburnya dibuat dari
bubur katul, bubur merah putih, bubur lemu dan bubur pathi yang beraneka ragam
ketan hitam dan ketan putih, sargun dan sebangsanya dengan pelngkap yang harus
ada yaitu klepon, pleret, lapis, jangkong, cetil, klanting dan mudahnya seperti
itu. Tidak lupa harus ada dawet yang perlu dipikirkan pertama Pak Jagatirta
(ulu-ulu) dan lainnya bisa di bagikan untuk siapa saja terutama anak-anak.
2.
WIWIT (METHIK)
Kecuali
apa yang sudah di utarakan di atas sesudah para bapak, ibu para petani mulai
memetik setiap pojok sawah dan di ikat jadi dua ikat yang kira-kira satu
ikatnya hanya satu gengam satu batang padi, dan juga di kasih daunnya lalu
kepang jadi dua wadah, yang satu di gantung di pinggir dan satunya di simpan di
tengah yang ada untuk persembahan Dewi Sri barang ini pada upacara pengantin
jadi slametan terakhir yaitu sudah menjemur.
3.
BROKOHAN (BAROKAH)
Yaitu
masuknya padi di penyimpanan dan slametan itu dari nasi uduk lauknya sudah
bebas apa saja bisa. Tapi yang perlu di perhatikan alas tumpeng harus memakai
daun pohon nangka yang di lapisi daun pisang tapi harus di tutup tetapi
tutupnya yang di tutupkan.
Memang
budaya pedesan yang indah tadi sekarang sudah dilupakan. Semua ini bukan terus
menolak teknologi modern tetapi juga bisa menggunakan teknologi modern di
terapkan dengan hati-hati supaya tidak menggeser nilai-nilai kearifan lama.
Sampai disini siapa tau beras akan jadi produk elit. Sesudah itu mengolah sawah
seperti itu di atas yang sudah di kemas tidah hanya bisa di manfaatkan jadi
tontonan wisata jadi meningkatkan kesejahteraan para buruh tani.
Referensi :
Joko Lodhang
2002
0 komentar:
Posting Komentar