facebook twitter youtube linkedin googlemap googletranslate journal

Senin, 20 Mei 2013

Sesaji Wiwit ; Budaya Tani yang Sudah Jarang Terlihat

            

            Budaya mengolah sawah dari jamannya nenek jaman dulu dan sekarang dari  hari ke hari sudah mulai dilupakan, atau sudah hilang di daerah kehidupan pedesaan tanah jawa. Umumnya para petani pada ]zaman sekarang ini beranggapan bahwa menanam padi adalah kegiatan yang produktif. Padahal sejatinya usaha bertani adalah merupakan perwujudan bentuk kebudayaan yang mempunyai banyak arti yang mencakup religi, etika dan pemujaan.
Kenyataan sekarang ini pemahaman tentang itu sekarang sudah langka atau jarang. Penyebabnya di karenakan oleh perekonomian modern yang digerakan oleh kekuatan pasar yang mengarah para petani mengembangkan sikap praktis untuk mendapatkan hasil panen yang lebih banyak. Kemajuan teknologi harus di manfaatkan tanpa batas tertentu. Jika perlu tradisi kearifan-kearifan itu di sisihkan.
Munculnya traktor yang menjadikan trend untuk mengolah tanah, menjadikan orang itu jarang menggunakan tenaga kerbau. Padahal alat bajak tradisional yang sudah dibuat dari sepasang kayu yang memang dibuat ada bagian yang melengkung seperti kendheng gendhewa, dan bagian lainnya lurus itu merupakan pengertian atau menampilkan hubungan yang harmonnis.
Tersingkirnya luku dan garu, begitu juga hilanglah seni pedesaan. Meskipun semua itu menjadi adat saat bekerja di sawah, terkadang pertani menyanyikan lagu dandang gulo, asmaradana ataupun lagu lainnya. Meski suaranya keci, tetapi enak di dengar diselingi bunyinya pecut dengan sorakan hir.. hir.. hir untuk mengendalikan kerbaunya.
Sejak awal para tani mempunyai keyakinan yang kuat bahwa padi tersebut merupakan bahan poko yang berperan penting di kalangan pedesaan. Buktinya, padi sering di gambarkan dengan simbol-simbol keramat. Para petani di jawa contohnya percaya adanya Dewi Sri. Dewi padi di Bali dikenal dengan Bethari Sri. Di daerah sunda di kenal dengan Ni Pohaci.
Karena kepercayaan tersebut masyarakat desa sangat menghormati padi. Berbagai sesaji dan slametan dilakukan mulai dari menebar benih sampai disawah, sesaji tersebut untuk meminta supaya padi tumbuh subur tanpa dimakan hama.
Demikian juga panen dilakukan dengan ani-ani. Dengan alat ppanen tradisional ini para bruh tani bisa memilih padi yang benar-benar tua yang pantas untuk dipanen. Tidak aneh bila beras rancak wangi enak rasanya dan tidak mudah bau bila dimasak menjadi nasi.
Di zaman dahulu ada pantangan bagi kaum laki-laki membuka tempat penyimpanan padi dan membuka tutup dandang yang sedang di gunakan untuk memasak. Menurut kepercayaan, larangan ini ada kaitannya dengan legenda Jaka Tarub – Nawangwulan.
Cerita rakyat menggemparkan, sesudah berumah tangga sekitar satu tahun Dewi Nawangwulan dan satu putri Dewi Nawangsih. Jaka Tarub atau Ki Ageng Tarub heran dengan penyimpanan padi yang tidak pernah habis. Padahal seharusnya padinya itu habis karena tiap hari di masak oleh istrinya.
Karena heran atau penasaran apa yang dimasak di dapur Ki Ageng Tarub lupa pesan istrinya bahwa jangan sekali-kali membuka dan melihat tutup dandang ternyata yang dimasak hanya padi sehelai tau setangkai.
Mengetahui larangannya tersebut dilanggar oleh suaminya, Dewi Nawangwulan kehilangan kesaktiannya. Setelah itu sang Dewi tidak beda dengan wanita lainnya. Setiap hari menutup padi, membersihkan beras dan memasak seperti apa mestinya. Lama kelamaan padi di tempat penyimpanan habis, dengan berkurangnya padi Nawangwulan menemukan pakaian bidadarinya yang dulu sengaja di sembunyikan oleh Joko Tarub. Merasa sudah waktunya Dewi Nawangwulan pergi kembali ke kayangan, berpisah dengan suami dan anaknya.
Setelah di telusuri lebih lanjut larangan bagi laki-laki tidak boleh membuka tutup dandang yang sedang digunakan untuk memasak sebenarnya mempunyai maksud untuk sabar. Sekarang mengandung unsur “Kesetaraan gender” bahwa urusan dapur menjadi hak kaum wanita sedangkan laki-laki sebagai kepala keluarga wajib mancari nafkah.
Sekarang kebudayaan mengolah sawah secara tradisional sudah tidak jaman dengan perkembangan tradisional sudah tidak jaman dengan perkembangan teknologi modern. Hampir tidak ada lagi gotong royong mengolah padi dengan upah padi, sekarang sudah diborongkan dengan upah uang.
Sekarang slametan bumi sudah mulai jarang mulai ditemukan di antaranya dan mulai hilang dari pedesaan yaitu “sesaji wiwit”. Makna pentingnya slametan ini tidak hanya sekedar pelengkap yang di sajikan seperti nasi tumpeng, ayam panggang, sambel gebel, trancam, telor dadar, rujak manis, pisang pulut, pisang mas, ubi jalar, kupat lepet dan tebu satu ruas. Namun lebih dari itu untuk mengucap terimakasih kepada Allah SWT yang sudah memberi keanugerahan berupa panen yang mellimpah.
Slametan lainnya
            Seharunya para saudara petani jangan meninggalkan tentang menanam padi dengan cara konvensional (tradisi) yang sudah nyata bisa sukses mengolah sawah dan pengeluarannya. Jika dibandingkan dengan cara modern (mekanik seperti mesin dan pupuk) hasilnya bisa lebih banyak, tetapi kita harus mengitung berapa modal yang harus di keluarkan untuk mengolah sawah tadi. Kira-kira banyak mana jika cara mekanik dibandingan dengan modal cara tradisional dan bersamaan dengan bab tentang kesuburan bumi serta alam lingkungan apakah sudah pas atau cocok untuk petani indonesia (jawa), apalagi campur tangan para birokrat (pengusaha) yang sering bercampur tangan.
            Kemudian yang harus diperhatikan juga pengetahuan tentang matinya keperluan pokok para buruh tani yang  biasa bekerja sebagai buruh sawah hilang. Dan pengahasilannya juga menghilangkan tradisi gotong royong yang jadi tumpuan perekonomian bangsa kita. Sebab di waktu sekarang sudah hilang yang namanya orang buruh tradisional juga para buruh cangkul yang pekerjaanya meratakan sawah, yang mencangkul sisi tanah yang ada si pojok sawah yang sudah di bajak. sebelum mengenal sawah model sekarang macam-macam jenisnya dan sulit dibajak jika di jaman mengolah cara tradisi membajak pasti lainnya para petani yang sedang menggunakan ketambahan yang namanya kerbau dan ayam atau bebek serta burung jalakjuga bangauyang sedang mengrumuni orang yang sedang membajak sawah.
            Hewan ini tadi sedang membantu membersihkan hama yang ada di sawah seperti kumbang, ular, tikus dan sejenisnya. Sebab pekerjaan membajak tadi termasuk membalik tanah dan meratan juga menghilangkan semua hewan yang menjadi hama sawah, adanya burung dan ayam atau bebek yang sedang mengikuti para pekerja untuk mencari makan apa yang ada di sawah apa yang di kerjakan tadi. Jadi di jaman dulu hama yang mengganggu sawah jarang sekali dan mudah memberantasnya, sebab sebelum merusak yang sudah lebih dulu di makan burung dan ayam atau bebek. Jadi sistim padat karya yang sering di anjurkan oleh pemerintah atau penguasa bisa berjalan lancar bukan hanya slogan beda lagi dengan kebiasaan di bab tradisi yang mengenai upaca sesaji yang jadi patokannya para sesepuh untuk memperingati budaya tradisi mensyukuri untuk yang memberi Allah SWT yang sudah memberi anugrah yang banyak kesejahteraan yang bisa memberi kehidupan.
            Memang upacara tadi sedekah bumi tapi yang jadi kenyataan semua tradisi yang sudah hidup atau tumbuh di dalam masyarakat kita sendiri.  Upacara tentang mengolah sawah sebenarnya banyak sekali jenis yang mempunyai nilai yang menjadikan jaman sekarang di namakan asuransi.
            Di jaman sebelum padi PB masuk indonesia (jawa) jenis padi hanya ada dua yaitu padi jawa (wulu) sebab pucuknya mempunya bulu dan padi cempa (genyah) sebab umurnya lebih pendek dari padi jawa (wulu).
Upacara dan slametan mengolah sawah  bisa terpenuhi seperti :
1.      KELEMAN
Yaitu slametan pembuka jika akan mengolah sawah seperti memulai memberi benih. Menanam padi yang akan dipakai bibit tanaman padi ada di sawah jika padi jawa di rendam di dlam kolam atau bak selama tiga hari (tidak di bersihkan). Jika padi cempa disiram dengan memakai air hangat sampai bersih agar mudah tumbuh, sesudah hari yang sudah di rancang yaitu hari menabur benih padi menadakan slametan yang di namakan keleman. Jika slametan itu di buat dari nasi jenisnya seperti sayur-sayuran, lauknya dari ikan air tawar. Sampai bumbu rujak dan syaratnya harus ditusuk serta di bakar tidak boleh memakai danging ayam, sapi dan kambing , seharusnya tidak boleh ada barang sembelihan, jadi pelengkapnya tidak boleh lupa grontol, sawut, horog-horog, dan tiwul. Buburnya dibuat dari bubur katul, bubur merah putih, bubur lemu dan bubur pathi yang beraneka ragam ketan hitam dan ketan putih, sargun dan sebangsanya dengan pelngkap yang harus ada yaitu klepon, pleret, lapis, jangkong, cetil, klanting dan mudahnya seperti itu. Tidak lupa harus ada dawet yang perlu dipikirkan pertama Pak Jagatirta (ulu-ulu) dan lainnya bisa di bagikan untuk siapa saja terutama anak-anak.
2.      WIWIT (METHIK)
Kecuali apa yang sudah di utarakan di atas sesudah para bapak, ibu para petani mulai memetik setiap pojok sawah dan di ikat jadi dua ikat yang kira-kira satu ikatnya hanya satu gengam satu batang padi, dan juga di kasih daunnya lalu kepang jadi dua wadah, yang satu di gantung di pinggir dan satunya di simpan di tengah yang ada untuk persembahan Dewi Sri barang ini pada upacara pengantin jadi slametan terakhir yaitu sudah menjemur.

3.      BROKOHAN  (BAROKAH)
Yaitu masuknya padi di penyimpanan dan slametan itu dari nasi uduk lauknya sudah bebas apa saja bisa. Tapi yang perlu di perhatikan alas tumpeng harus memakai daun pohon nangka yang di lapisi daun pisang tapi harus di tutup tetapi tutupnya yang di tutupkan.
Memang budaya pedesan yang indah tadi sekarang sudah dilupakan. Semua ini bukan terus menolak teknologi modern tetapi juga bisa menggunakan teknologi modern di terapkan dengan hati-hati supaya tidak menggeser nilai-nilai kearifan lama. Sampai disini siapa tau beras akan jadi produk elit. Sesudah itu mengolah sawah seperti itu di atas yang sudah di kemas tidah hanya bisa di manfaatkan jadi tontonan wisata jadi meningkatkan kesejahteraan para buruh tani. 

Referensi :
Joko Lodhang 2002  

0 komentar:

Posting Komentar

Template by:

Free Blog Templates